SMS bukan hanya mempermudah berkirim pesan. Lebih dari itu, orang yang kecanduan berkirim SMS ditemukan lebih rendah untuk memiliki sikap moral, estetika, dan spiritual.
Selain itu, mereka juga lebih mementingkan citra diri dan kekayaan
ketika aktivitasnya didominasi dengan berkirim SMS. Demikian menurut
studi dari Universitas Winnipeg, seperti dikutip Times of India.
Studi ini melibatkan 2.300 mahasiswa psikologi yang diminta untuk
mengisi survey secara online. Aspek yang dinilai meliputi seringnya
berkirim SMS, kepribadian, dan tujuan hidup. Data dikumpulkan selama
tiga tahun yang dilakukan pada awal semester.
Hasilnya, mahasiswa yang berkirim SMS hingga
lebih dari 100 kali sehari, 30 persen lebih mungkin untuk memiliki
etika dan prinsip kehidupan lebih rendah dibandingkan mereka yang hanya
berkirim SMS sebanyak 50 kali atau kurang dari itu. Peneliti juga
menemukan, tingginya frekuensi mengirim pesan pendek ini membuat seseorang memiliki prasangka lebih tinggi terkait masalah etnis.
“Nilai-nilai dan sifat-sifat paling erat terkait dengan frekuensi (berkirim) SMS, secara mengejutkan konsisten dengan dugaan Carr bahwa informasi baru dan teknologi media sosial dapat menggusur dan mengecilkan pemikiran reflektif,” kata Dr Paul Trapnell, profesor psikologi di Universitas Winnipeg.
Tujuan studi ini adalah untuk menguji “hipotesis pendangkalan” yang dijelaskan Nicholas Carr dalam The Shallow. Peneliti juga mengaku terkejut dengan temuan ini. Sekalipun masih perlu studi lanjutan, tapi menunjukkan efek konsisten dari sebuah kebiasaan sederhana berupa mengirim SMS.
Dalam “hipotesis pendangkalan” dijelaskan, media ultra-sosial seperti
SMS dan Twitter dapat mendorong pikiran untuk berpikir relatif dangkal.
Hal ini lantas dikaitkan hubungan media sosial itu dengan masalah kognitif dan kedangkalan moral.
Studi ini dipresentasikan pada Konferensi Tahunan SPSP 2013 di New Orleans.